Pernah
membayangkan apa yang akan terjadi bila tanaman kesayangan Anda tidak
disirami? Pasti akan layu bahkan mati. Cinta pun demikian adanya. Ia
harus disirami dan dipelihara.
Sesungguhnya tidak ada seorang pun yang menghendaki perceraian.
Keluarga utuh idaman setiap pasangan. Secara alamiah, setiap insan
mengharapkan keluarga bahagia, damai, dan bebas konflik. Suami istri dan
anak saling mengasihi. Tidak ada pihak ketiga yang sengaja mengacaukan.
Idealnya demikian.
Akan tetapi, kenyataannya tidak semudah impian itu. Perhatikanlah
keluargakeluarga seumur jagung harus berakhir. Anak-anak jadi korban.
Dendam dan sakit hati kerapkali mewarnai. Mengumpat dan saling
menjelekkan selalu mengiringi. Cinta berubah jadi benci. Cinta yang
indah menjadi prahara. Mengapa demikian? Tak ada asap tanpa api. Tak ada
perceraian tanpa penyebab. Logikanya sederhananya demikian.
Keluarga-keluarga yang akhirnya bubar bukan tanpa masalah. Enggak
mungkin terjadi perpisahan tanpa sebab. Hal-hal sepele pun bisa jadi
pemicu. Karena sepele, orang cenderung mengabaikannya. Diabaikan karena
dianggap terlalu kecil untuk dibicarakan. Terlalu sederhana untuk
disampaikan kepada pasangan atau anak-anak. Namun, orang lupa bahwa
masalah besar merupakan kumpulan dari hal-hal kecil yang disepelekan.
Dalam tradisi masyarakat kita, hal-hal kecil cenderung ditiadakan.
Kalau perlu dihapus saja toh terlalu kecil. Sikap seperti ini
sesungguhnya keliru. Mengapa? Karena yang kecil-kecil itu berpotensi
menjadi besar bila tidak dikomunikasikan. Dalam banyak kasus,
permasalahan keluarga tidak langsung besar. Mungkin benar kata
peribahasa sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit.
Kalau demikian halnya, apa yang harus dikembangkan agar cinta yang
tiada akhir (endless love) tetap bersemi di Tengah keluarga?
Prinsip-prinsip apa yang relevan dalam konteks keluarga Kristen masa
kini?
KOMUNIKASI
Pengamatan para pakar menunjukkan, banyak persoalan keluarga berawal dari komunikasi yang kurang lancar. Bisa juga karena kebuntuan komunikasi. Akibatnya, tiba-tiba masalahnya sudah menumpuk. Dalam kondisi seperti ini, agak kesulitan untuk menolong. Masing-masing pihak merasa diri benar. Pasangannyalah yang mutlak salah, bukan dirinya. Kalau ini yang terjadi tentu persoalan akan jadi rumit. Orang mengatakan bagai mengurai benang kusut. Dalam hal ini butuh waktu dan proses untuk menyelesaikan masalah. Energi ekstra diperlukan untuk mengupayakan solusi terbaik.
Pengamatan para pakar menunjukkan, banyak persoalan keluarga berawal dari komunikasi yang kurang lancar. Bisa juga karena kebuntuan komunikasi. Akibatnya, tiba-tiba masalahnya sudah menumpuk. Dalam kondisi seperti ini, agak kesulitan untuk menolong. Masing-masing pihak merasa diri benar. Pasangannyalah yang mutlak salah, bukan dirinya. Kalau ini yang terjadi tentu persoalan akan jadi rumit. Orang mengatakan bagai mengurai benang kusut. Dalam hal ini butuh waktu dan proses untuk menyelesaikan masalah. Energi ekstra diperlukan untuk mengupayakan solusi terbaik.
Akan tetapi, bila jauh-jauh hari komunikasi telah terjalin, tentu
mudah untuk mengurai setiap persoalan yang dihadapi. Dapat dibayangkan
bila dalam waktu yang lama komunikasi buntu, pasti ceritanya lain. Kisah
menyedihkan tentu tak dapat dihindari. Paling tidak itulah yang sering
terdengar di seputar kehidupan keluarga di banyak tempat. Ekstremnya,
perceraian sering menjadi pilihan yang tak dapat dihindari. Lucunya lagi
perceraian dianggap sebagai solusi terbaik. Walaupun fakta lapangan
menunjukkan bahwa perceraian bukanlah jalan keluar terbaik. Perceraian
selalu menyakiti banyak pihak. Pasangan, keluarga, dan anak-anak
dipastikan mengalami dampak negatif.
Mengatasi hal di atas, tentu komunikasi yang sehat amat diperlukan.
Komunikasi yang dibangun di atas kasih pasti mengatasi banyak masalah.
Kesalahpahaman dapat diatasi melalui komunikasi. Karena itu komunikasi
menempati posisi penting. Cinta sekuat apapun tanpa komunikasi pada
waktunya akan mengalami kebuntuan. Karena itulah peranan komunikasi amat
menentukan.
KEBERSAMAAN
Masalah dapat memisahkan setiap orang termasuk pasangan hidup. Ketika masalah tidak dikelola bersama dengan baik, hal ini sangat berpotensi memunculkan masalah baru dalam keluarga. Perhatikanlah pernyataan orang-orang yang memilih mengakhiri keluarganya. Pada umumnya mereka berujar tidak ada lagi kecocokan di antara mereka. Mengapa tidak cocok? Selain kebuntuan komunikasi, bisa juga karena waktu kebersamaan dengan pasangan makin sedikit.
Masalah dapat memisahkan setiap orang termasuk pasangan hidup. Ketika masalah tidak dikelola bersama dengan baik, hal ini sangat berpotensi memunculkan masalah baru dalam keluarga. Perhatikanlah pernyataan orang-orang yang memilih mengakhiri keluarganya. Pada umumnya mereka berujar tidak ada lagi kecocokan di antara mereka. Mengapa tidak cocok? Selain kebuntuan komunikasi, bisa juga karena waktu kebersamaan dengan pasangan makin sedikit.
Di Tengah masyarakat kita, kebersamaan dengan pasangan makin tidak
mendapat tempat. Suami atau istri lebih banyak di luar rumah. Mulai pagi
hingga sore bahkan malam hari berada di kantor.
Suami atau istri lebih banyak waktu bersama teman-teman kantor.
Sementara waktu bersama istri atau suami tinggal waktu sisa. Tidak heran
bila kita mendengar istilah cinta lokasi. Cinta bersemi di lokasi
kerja, kantor. Maka, potensi untuk berselingkuh sangatlah besar.
Biasanya hal ini terjadi di Tengah masyarakat kita, khususnya masyarakat
perkotaan. Waktu kebersamaan kiranya mendapat perhatian serius. Cinta
itu ibarat tanaman. Tanaman harus disirami agar dapat bertahan hidup.
Ishak menjadi contoh yang baik mengenai waktu kebersamaan. Kitab
Kejadian 26 memberi catatan yang indah. Kalau itu di Filistin sedang
terjadi masalah serius. Masalah yang berurusan dengan perut.Masalah
kelaparan, Kejadian 26 menegaskan kelaparan yang terjadi ke sekian
kalinya itu sungguh menekan. Walau hal serupa pernah berulang kali
terjadi sejak zaman Abraham. Dalam kondisi demikian Ishak yang juga
pendatang di negeri Filistin hendak meninggalkan negeri itu. Ia berniat
ke Mesir. Namun, Tuhan melarangnya untuk meninggalkan Filistin. Tuhan
mengatakan bahwa Dia akan memelihara.
Menjadi menarik ketika Ishak mengatasi persoalan yang mereka sedang
hadapi. Ishak tidak mengatasi masalah seorang diri. Ia tak mau frustrasi
dengan kondisi yang ada. Ia juga tidak mau menanggung sendiri. Ishak
seorang yang suka berbagi. Ya, membagi beban dengan teman hidupnya,
seorang perempuan cantik bernama Ribka.
Persoalan di luar sana menghangat. Filistin dihajar kelaparan. Ini
persoalan bangsa. Lalu, bagaimana dengan Ishak? Ishak makin dekat dengan
pasangannya. Apa buktinya? Dalam Alkitab tertulis demikian. “Setelah
beberapa lama ia ada di sana, pada suatu kali menjenguklah Abimelekh,
raja orang Filistin itu dari jendela, maka dilihatnya Ishak sedang
bercumbu-cumbuan dengan Ribka, isterinya.” (Kej. 26:8). Di Tengah
pusaran persoalan yang hebat, Ishak menyediakan waktu khusus untuk
bersama pasangannya. Kitab Kejadian menggunakan istilah Ishak sedang
bercumbu-cumbuan. Artinya, Ishak menyediakan waktu untuk bersama-sama.
Orang sering mengatakan yang penting waktu berkualitas yang diberikan
kepada pasangan. Persoalannya ketika waktu berkualitas itu diberikan
setengah tahun sekali misalnya. Walau waktunya berkualitas namun sukar
untuk mengakui bahwa waktu itu berhasil memupuk cinta di antara
pasangan. Bayangkan tanaman Anda disiram secara berkualitas setengah
tahun sekali. Bayangkan, kira-kira apa yang terjadi? Pasti sebelum
siraman berikutnya datang, tanaman itu telah layu bahkan mati dahulu.
Karena itu waktu kebesamaan dapat membantu untuk mewujudkan endless
love.
MENGHARGAIDalam suatu konseling, seorang istri
berniat mengakhiri rumah tangganya. Pada kesempatan istimewa itu ia
mengungkapkan argumentasinya. Argumentasinya adalah ia tak mampu lagi
hidup bersama suami. Lho, apa yang terjadi? Ternyata sang suami seorang
yang kasar dan tidak menghargai istri.
Dalam suratnya kepada jemaat di Kolose, Rasul Paulus memberi nasihat.
Sebuah nasihat praktis namun kadang dilupakan. “Hai isteri-isteri,
tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Hai
suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap
dia.” (Kol. 3:18-19). Berdasarkan kedua ayat itu, tiga hal penting yang
perlu dicamkan. Tunduk, kasihi, dan jangan kasar. Kata itu punya rahasia
besar untuk melestarikan hubungan pernikahan. Saling menghargai
sangatlah penting. Tidak ada seorang pun yang mau direndahkan. Itulah
naluri alami setiap manusia.
Memelihara cinta itu ibarat memelihara tanaman. Setiap hari wajib
untuk menyiraminya. Tidak boleh ada hama yang hendak merusak. Bila hama
sudah mulai menyerang, harus segera dibasmi. Prinsip yang sama berlaku
pula untuk menjaga kelangsungan cinta. Tidak ada yang imun terhadap
“hama-hama” yang berniat merusak. Karena itu waspada dan siaga menjadi
penting. Rawat dan siramilah cinta dengan komunikasi, waktu kebersamaan,
dan saling menghargai. Tuhan kiranya memampukan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar