SELAMAT DATANG DI NaL-D' BLOG,,jangan lupa komentar,share,vote & jempolnya!!!

Selasa, 17 April 2012

Cinta itu Ibarat Tanaman


Pernah membayangkan apa yang akan terjadi bila tanaman kesayangan Anda tidak disirami? Pasti akan layu bahkan mati. Cinta pun demikian adanya. Ia harus disirami dan dipelihara.

Sesungguhnya tidak ada seorang pun yang menghendaki perceraian. Keluarga utuh idaman setiap pasangan. Secara alamiah, setiap insan mengharapkan keluarga bahagia, damai, dan bebas konflik. Suami istri dan anak saling mengasihi. Tidak ada pihak ketiga yang sengaja mengacaukan. Idealnya demikian.
Akan tetapi, kenyataannya tidak semudah impian itu. Perhatikanlah keluargakeluarga seumur jagung harus berakhir. Anak-anak jadi korban. Dendam dan sakit hati kerapkali mewarnai. Mengumpat dan saling menjelekkan selalu mengiringi. Cinta berubah jadi benci. Cinta yang indah menjadi prahara. Mengapa demikian? Tak ada asap tanpa api. Tak ada perceraian tanpa penyebab. Logikanya sederhananya demikian. Keluarga-keluarga yang akhirnya bubar bukan tanpa masalah. Enggak mungkin terjadi perpisahan tanpa sebab. Hal-hal sepele pun bisa jadi pemicu. Karena sepele, orang cenderung mengabaikannya. Diabaikan karena dianggap terlalu kecil untuk dibicarakan. Terlalu sederhana untuk disampaikan kepada pasangan atau anak-anak. Namun, orang lupa bahwa masalah besar merupakan kumpulan dari hal-hal kecil yang disepelekan.
Dalam tradisi masyarakat kita, hal-hal kecil cenderung ditiadakan. Kalau perlu dihapus saja toh terlalu kecil. Sikap seperti ini sesungguhnya keliru. Mengapa? Karena yang kecil-kecil itu berpotensi menjadi besar bila tidak dikomunikasikan. Dalam banyak kasus, permasalahan keluarga tidak langsung besar. Mungkin benar kata peribahasa sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit.
Kalau demikian halnya, apa yang harus dikembangkan agar cinta yang tiada akhir (endless love) tetap bersemi di Tengah keluarga? Prinsip-prinsip apa yang relevan dalam konteks keluarga Kristen masa kini?
KOMUNIKASI
Pengamatan para pakar menunjukkan, banyak persoalan keluarga berawal dari komunikasi yang kurang lancar. Bisa juga karena kebuntuan komunikasi. Akibatnya, tiba-tiba masalahnya sudah menumpuk. Dalam kondisi seperti ini, agak kesulitan untuk menolong. Masing-masing pihak merasa diri benar. Pasangannyalah yang mutlak salah, bukan dirinya. Kalau ini yang terjadi tentu persoalan akan jadi rumit. Orang mengatakan bagai mengurai benang kusut. Dalam hal ini butuh waktu dan proses untuk menyelesaikan masalah. Energi ekstra diperlukan untuk mengupayakan solusi terbaik.
Akan tetapi, bila jauh-jauh hari komunikasi telah terjalin, tentu mudah untuk mengurai setiap persoalan yang dihadapi. Dapat dibayangkan bila dalam waktu yang lama komunikasi buntu, pasti ceritanya lain. Kisah menyedihkan tentu tak dapat dihindari. Paling tidak itulah yang sering terdengar di seputar kehidupan keluarga di banyak tempat. Ekstremnya, perceraian sering menjadi pilihan yang tak dapat dihindari. Lucunya lagi perceraian dianggap sebagai solusi terbaik. Walaupun fakta lapangan menunjukkan bahwa perceraian bukanlah jalan keluar terbaik. Perceraian selalu menyakiti banyak pihak. Pasangan, keluarga, dan anak-anak dipastikan mengalami dampak negatif.
Mengatasi hal di atas, tentu komunikasi yang sehat amat diperlukan. Komunikasi yang dibangun di atas kasih pasti mengatasi banyak masalah. Kesalahpahaman dapat diatasi melalui komunikasi. Karena itu komunikasi menempati posisi penting. Cinta sekuat apapun tanpa komunikasi pada waktunya akan mengalami kebuntuan. Karena itulah peranan komunikasi amat menentukan.
KEBERSAMAAN
Masalah dapat memisahkan setiap orang termasuk pasangan hidup. Ketika masalah tidak dikelola bersama dengan baik, hal ini sangat berpotensi memunculkan masalah baru dalam keluarga. Perhatikanlah pernyataan orang-orang yang memilih mengakhiri keluarganya. Pada umumnya mereka berujar tidak ada lagi kecocokan di antara mereka. Mengapa tidak cocok? Selain kebuntuan komunikasi, bisa juga karena waktu kebersamaan dengan pasangan makin sedikit.
Di Tengah masyarakat kita, kebersamaan dengan pasangan makin tidak mendapat tempat. Suami atau istri lebih banyak di luar rumah. Mulai pagi hingga sore bahkan malam hari berada di kantor.
Suami atau istri lebih banyak waktu bersama teman-teman kantor. Sementara waktu bersama istri atau suami tinggal waktu sisa. Tidak heran bila kita mendengar istilah cinta lokasi. Cinta bersemi di lokasi kerja, kantor. Maka, potensi untuk berselingkuh sangatlah besar. Biasanya hal ini terjadi di Tengah masyarakat kita, khususnya masyarakat perkotaan. Waktu kebersamaan kiranya mendapat perhatian serius. Cinta itu ibarat tanaman. Tanaman harus disirami agar dapat bertahan hidup.
Ishak menjadi contoh yang baik mengenai waktu kebersamaan. Kitab Kejadian 26 memberi catatan yang indah. Kalau itu di Filistin sedang terjadi masalah serius. Masalah yang berurusan dengan perut.Masalah kelaparan, Kejadian 26 menegaskan kelaparan yang terjadi ke sekian kalinya itu sungguh menekan. Walau hal serupa pernah berulang kali terjadi sejak zaman Abraham. Dalam kondisi demikian Ishak yang juga pendatang di negeri Filistin hendak meninggalkan negeri itu. Ia berniat ke Mesir. Namun, Tuhan melarangnya untuk meninggalkan Filistin. Tuhan mengatakan bahwa Dia akan memelihara.
Menjadi menarik ketika Ishak mengatasi persoalan yang mereka sedang hadapi. Ishak tidak mengatasi masalah seorang diri. Ia tak mau frustrasi dengan kondisi yang ada. Ia juga tidak mau menanggung sendiri. Ishak seorang yang suka berbagi. Ya, membagi beban dengan teman hidupnya, seorang perempuan cantik bernama Ribka.
Persoalan di luar sana menghangat. Filistin dihajar kelaparan. Ini persoalan bangsa. Lalu, bagaimana dengan Ishak? Ishak makin dekat dengan pasangannya. Apa buktinya? Dalam Alkitab tertulis demikian. “Setelah beberapa lama ia ada di sana, pada suatu kali menjenguklah Abimelekh, raja orang Filistin itu dari jendela, maka dilihatnya Ishak sedang bercumbu-cumbuan dengan Ribka, isterinya.” (Kej. 26:8). Di Tengah pusaran persoalan yang hebat, Ishak menyediakan waktu khusus untuk bersama pasangannya. Kitab Kejadian menggunakan istilah Ishak sedang bercumbu-cumbuan. Artinya, Ishak menyediakan waktu untuk bersama-sama.
Orang sering mengatakan yang penting waktu berkualitas yang diberikan kepada pasangan. Persoalannya ketika waktu berkualitas itu diberikan setengah tahun sekali misalnya. Walau waktunya berkualitas namun sukar untuk mengakui bahwa waktu itu berhasil memupuk cinta di antara pasangan. Bayangkan tanaman Anda disiram secara berkualitas setengah tahun sekali. Bayangkan, kira-kira apa yang terjadi? Pasti sebelum siraman berikutnya datang, tanaman itu telah layu bahkan mati dahulu. Karena itu waktu kebesamaan dapat membantu untuk mewujudkan endless love.
MENGHARGAIDalam suatu konseling, seorang istri berniat mengakhiri rumah tangganya. Pada kesempatan istimewa itu ia mengungkapkan argumentasinya. Argumentasinya adalah ia tak mampu lagi hidup bersama suami. Lho, apa yang terjadi? Ternyata sang suami seorang yang kasar dan tidak menghargai istri.
Dalam suratnya kepada jemaat di Kolose, Rasul Paulus memberi nasihat. Sebuah nasihat praktis namun kadang dilupakan. “Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia.” (Kol. 3:18-19). Berdasarkan kedua ayat itu, tiga hal penting yang perlu dicamkan. Tunduk, kasihi, dan jangan kasar. Kata itu punya rahasia besar untuk melestarikan hubungan pernikahan. Saling menghargai sangatlah penting. Tidak ada seorang pun yang mau direndahkan. Itulah naluri alami setiap manusia.
Memelihara cinta itu ibarat memelihara tanaman. Setiap hari wajib untuk menyiraminya. Tidak boleh ada hama yang hendak merusak. Bila hama sudah mulai menyerang, harus segera dibasmi. Prinsip yang sama berlaku pula untuk menjaga kelangsungan cinta. Tidak ada yang imun terhadap “hama-hama” yang berniat merusak. Karena itu waspada dan siaga menjadi penting. Rawat dan siramilah cinta dengan komunikasi, waktu kebersamaan, dan saling menghargai. Tuhan kiranya memampukan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar